(CERPEN) Semangkuk Ramen Mimpi

Hari ini Ia mendengus kesal, menatapi langkah kakinya yang tergesa-gesa menuju rumah dan segera ingin menginggalkan sekolah. Jalan terlihat lenggang, gadis itu semakin memepercepat langkahnya. Sesampainya dirumah ia berusaha membenamkan kepalanya dalam-dalam. Namun, pikirannya terus menerus menganggu. Mengapa hanya aku memiliki kemampuan ini tetapi aku selalu tak bisa memperbaiki kejadian sebenarnya?
            Rania yang masih mengenakan seragam terlihat nyaman dengan posisi terlentang menghadap langit-langit kamar. Hidupnya selalu di aliri rasa penasaran dan takut. Dari hal kecil sampai hal yang menakjubkan sekalipun ia pernah mengalaminya dua kali! Pertama, dalam sebuah mimpi di tidurnya dan yang kedua kejadian nyata yang sama seperti di mimpi. Namun, Rania pun tak mengetahui kapan waktunya ia akan mengalami hal tersebut. Hanya saja, kejadian, tempat, dan orang-orang disekitar memanglah sama. 
            Sebelum hari ini yang membuat Rania benar-benar malu dan kesal, tempo hari ketika ia tertidur, dan mengalami sebuah mimpi. Mimpi itu menyeretkan Rania kepada rasa malu, kesal,dan  tertekan. Rania berpidato di hadapan para siswa SMA dengan rasa berdebar. Setelah itu salah satu celetukkan siswa kelas 3 menghantamnya “Yang kayak gini kok dijadikan calon Ketua Osis!” . Hal tersebut membuat Rania salah tingkah dan selepas mengucapkan salam, Ia tak sengaja menginjak tanah lapangan yang licin hingga ia terpeleset. Sontak seluruh murid tertawa dan Rania segera bangkit.  Dan hari ini, mimpi menyebalkan itu berubah menjadi nyata.
            Desiran kipas angin membuat mata Rania semakin berat. Imajinasinya semakin meninggi dan ia telah mencapai titik batas alam bawah sadar. Ia benar-benar harus mengalami hal yang membingungkan kembali.
            Rania menyusuri jalan setapak di sebuah tempat yang teramat asing. Matanya terus terpincing dan mengamati sekitar. Jalan ini lurus dan disampingnya setiap 4 meter ditamani pohon-pohon rindang. Dari kejauhan, Rania melihat beberapa gedung bertingkat saling berhadapan ditengahnya terdapat lorong yang menghubungkan kedua bangunan tersebut.
            Langkahnya semakin cepat ketika dihadapannya terlihat sosok yang membutuhkan pertolongan. Rania mendekati lelaki itu dan mencoba menolongnya untuk duduk kembali ke kursi rodanya. Rania belum sempat memperhatikan lebih jauh, namun lelaki yang kini duduk di kursi roda mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Rania hanya membalasnya dengan satu senyuman. Tulus.
“Kau mau menjenguk siapa?” lelaki itu berbalik menatap Rania
            Rania kembali menatap lelaki itu dengan heran. Pasalnya, ia pun tak tahu mengapa berada di sini. Yang ia ketahui, tadi ia sedang berjalan menuju rumah. Jadi, daerah ini rumah sakit? Tapi lelaki dihadapannya memakai seragam SMA yang berbeda darinya dan tampak sehat walaupun dengan kursi roda. Ujar rania dalam hati. Melihat ekspresi perempuan dihadapannya seperti itu, lelaki berkursi roda mengalihkan pembicaraan
“Kau tahu Galilleo?”
“Ya, dia ilmuwan yang menyatakan bumi itu bulat. Memangnya mengapa?”
            Dari arah belakang, Rania mendorongnya sambil bercakap ria. Menceritakan hal-hal yang tidak biasa dan berbagi cerita satu sama lain bahkan saling beradu argumen. Rupanya, lelaki itu sedang dalam tahap rawat jalan untuk pengobatan kakinya. Dengan nada riang, Rania terus menyemangati lelaki itu. Bagi Rania, pengalaman yang menyenangkan karena, lelaki ini jago berdiskusi dan bisa menambah kelihaiannya berdiskusi untuk kepentingan Osis. Bagi lelaki berkusi roda tersebut, sosok Rania yang cerdas dan periang telah menghancurkan kepercayaannya bahwa perempuan itu menakutkan. Aneh. Padahal mereka sama sekali belum saling menyebutkan nama.
“Sebagai rasa terimakasih karena sudah menolong dan menemaniku, izinkan aku memberikanmu hadiah”
“Wow! Hadiah apa itu?”
“Rahasia. Tolong antarkan aku ke balik gedung itu!”
            Rania kembali mendorong kursi roda. Ia melangkah tanpa terasa beban apapun. Hanya dalam waktu dua menit, sampailah mereka ke tempat tujuan. Sebuah kantin. Mereka duduk di meja pojok yang menghadap ke balkon taman. Rania masih tak mengerti, mengapa ia di ajak kesini. Walaupun untuk makan, mengapa lelaki itu tak memesan makanan? Rania bertanya-tanya dalam hati.
            Rania menepis kekhawatiran itu dan terhanyut dengan perbincangan yang sempat tertunda di jalan tadi. Tiba-tiba pelayan menaruh dua mangkuk ke meja.
“Ramen?” kebingungan Rania hadir kembali
“Ya. Ini makanan istimewa yang membawa kebahagian di setiap helaian mie dan kuahnya! Aku rasa ini hanya ini hadiahnya yang sesuai dengan saat ini” lelaki itu mengucapkannya tanpa gugup sama sekali “Jangan khawatir. Ramen di sini sangat lezat!” sebuah senyuman terlontarkan di hadapan Rania.
            Rania pun memakan ramen dengan suka hati. Tak peduli dengan penyakit maagnya yang sering kambuh. Sesekali ia menatap lelaki itu, seragam yang belum pernah ia lihat selama tinggal di kotanya. Berbaju kotak-kotak hijau tosca dan celana abu-abu dengan balutan jaket yang menutupi sebagian badannya, rambut di potong rapi, wajah orientalnya ramah, dan sepatu vans yang dikenakkannya cukup membuat Rania berdecak pelan ‘keren’. Rania memperhatikan lebih seksama, ada sebuah bordiran yang melekat di bajunya dan tertulis ‘Muhammad Bayan Ramadhan’
“Boleh aku bertanya sesuatu?” Rania mengucapkannya hati-hati, dan lelaki di hadapannya mengangguk kecil
“Apa yang akan kau lakukan jika kau telah mengetahui hal tersebut tetapi nyatanya kau tetap tak bisa mengubah hal tersebut?”
            Lelaki itu meletakkan sumpitnya dan berhenti mengunyah. Sesaat terdiam dan sempat berpikir. Ia menatap mata Rania yang penuh dengan tanda tanya, kini ia tahu apa yang harus dijawabnya.
“Biar aku meluruskan terlebih dahulu. Di dunia ini tak ada yang bisa mengetahui hal yang akan terjadi. Mungkin saja yang kau alami itu.. hmm.. sebut saja ‘Firasat’. Mempunyai kemampuan firasat yang besar adalah kekuatan. Kekuatan itu bisa saja menjadikanmu kuat atau lemah.” Lelaki kursi roda itu mengganti posisi duduknya dengan tegap dan menompang dagu. “Kalau aku memiliki kemampuan itu, aku hanya bisa menerima. Apalagi yang bisa dilakukan? Justru kalau menolak akan menambah sakit. Dan untuk berikutnya mungkin aku akan lebih berhati-hati dan tidak ceroboh.”
“Kita ga ada yang tau apa yang akan datang. Entah itu sama di mimpi, imajinasi, atau sesuatu yang kita lihat lainnya. Tapi, kita cuma harus berusaha biar hal itu gak mempengaruhi kita” lelaki itu menutup ucapannya dengan senyuman.
            Rania terpana beberapa detik mendengar penjelasan Bayan--Rania memanggil nama kecilnya-. Setelah itu mengangguk mengerti dan kini ia paham dengan kejadian yang sudah sering ia alami.
“Memangnya mengapa?” pertanyaan Bayan tak sama sekali Rania gubris. Rania tetap dengan pandangan kosong menatap taman.
“Rania?” ia mendengar lelaki itu menyebut namanya, dan kali ini Rania menyadari. Namun, ketika Rania menatap balik, Bayan hanya tersenyum. Apa aku salah dengar? Bagaimana mungkin lelaki itu mengetahui namanya?
“Rania!!” suara itu semakin jelas dan terdengar dengan bentakkan. “Mau tidur sampai kapan kamu? Ini sudah sore” suara Mama terdengar lebih menyeramkan. Dengan terpaksa ia bangkit dan sedikit menyesali, ia belum mengucapkan ‘Terimakasih’
            Malamnya, sebelum tidur, diam-diam Rania berdoa agar dalam mimpinya bertemu Bayan lagi. Namun, Tuhan berkehendak lain.
            Seminggu sudah Rania mengalami rasa penasaran yang amat sangat. Ia percaya bahwa ia pasti akan bertemu Bayan. Namun sampai hari ini pun, ia masih menunggu kesempatan yang belum datang itu. Sudah ia telusuri 10 rumah sakit yang berada di kotanya dan di sekitar kotanya. Namun, hasilnya nihil. Tak ada Bayan yang ia cari. Entah mengapa rasa penasaran berubah menjadi rindu yang tak terjelaskan. Kadang hidup selucu itu. Ketika hal yang dinantikan, selalu tak kunjung datang, namun ketika hal tersebut biasa saja, pasti akan terjadi.
            Senin pagi ini mendadak Mama mengajak Rania ke rumah sakit untuk menjenguk rekannya. Rania tak bisa menolak, lagi pula aktivitas sekolahnya libur karena guru sedang rapat.
“Rumah sakit mana Ma?”
“Lupa  nama rumah sakitnya, tapi daerah Cileungsi”
“Itu jauh banget Ma” Rania bergeming, apa mungkin Bayan ada di kota itu? Kecil kemungkinan, Ia menghembuskan nafas lesu. Tanpa melihat perubahan ekspresi wajah Rania, Mama hanya mengisyaratkannya untuk segera bergegas.
            Akhirnya setelah 5 jam menunggu, Rania menghembuskan nafas lega karena ia akan memasuki rumah sakit itu. Rania menatap gerbang depannya sekali lagi “Panti Jompo Muara Kasih”. Rupanya Mama mengajaknya ke panti jompo bukan rumah sakit. Sudah tidak ada kemungkinan lagi Bayan di rawat di sini. Dari belakang dengan langkah gontai, Rania mengikuti Mama.
            Rania sempat pamitan ke kamar mandi ketika berada ditengah Ibunya teman Mama yang sudah menua. Ia merasa bosan dan ingin mencari udara segar. Jalan kecil yang hanya bisa dilewati dua orang itu berlantai kasar. Rania memandang dari jauh gedung yang sejak 10 menit lalu ia didalamnya. Gedung itu berlantai dua dengan memiliki lorong di tengahnya yang menghubungkannya dengan gedung yang lain dan saling berhadapan. Rania tersenyum puas. Tempat ini yang ada di mimpinya! 
            Ia melanjutkan melangkah, di persimpangan jalan setapak itu, ia terpaku. Pada pemuda berseragam kotak hijau tosca dengan celana abu-abu sedang berusaha untuk duduk di kursi roda. Ah ia menggelengkan kepala, dengan berlari kecil ia menghampiri pemuda itu dan menolongnya.
“Terimakasih banyak..” rasa terimakasih dan senyuman pemuda berkursi roda itu telah lama ia simpan dalam memorinya, kini hadir kembali dalam wujud yang nyata. “Sebagai rasa terimakasih karena mau menolongku dan menemaniku, Izinkan aku memberimu hadiah.”
            Rania melingkarkan senyum kembali.  “Wow! Hadiah apa itu?” pasti ramen, aku sudah tahu itu. Desirnya dalam hati.
“Rahasia, tolong antarkan aku ke belakang  gedung itu.”
            Rania benar-benar merasakannya kembali. Rasa haru, bahagia, maupun konyol beradu satu. Ternyata pemuda itu memanglah bukan di rawat di tempat ini. Ia hanya menengok Neneknya dan memang sering menginap di panti jompo. Sensasi mendorong pemuda itu dari belakang memberikan efek yang begitu dalam. Hampir saja Rania meneteskan air mata dan berucap ‘Aku rindu kamu, sangat’
“Kita belum memperkenalkan nama, tapi sudah berbincang sangat jauh ya” Ujar pemuda itu
“Ah iyah.. Namaku Rania”
“Oh Rania, nama yang bagus. Kalau namaku..” belum sempat pemuda itu menyelesaikan ucapan, Rania sengaja memotongnya ,
“Bayan? Muhammad Bayan Ramadhan?”
“Loh bagaimana kau tahu? Apa kita sudah bertemu sebelumnya?” Bayan menatap Rania dengan tatapan yang mengherankan.

            Rania hanya mengangkat bahu dan tersenyum tipis. Kembali ia melanjutkan berjalan di belakang Bayan yang duduk di kursi roda. Untungnya Bayan tak mempedulikan lagi, di meja yang menghadap ke balkon taman mereka berbincaang dengan hangat ditemani semangkuk ramen kebahagiaan.
******
Cerpen ini berusia dua tahun, karena saya tulis januari tahun 2016. Setelah itu saya kirim ke media, dan ternyata dimuat oleh Majalah KawanKu pada bulan Maret. Hm.. Terimakasih mimpi, sudah membuat sesuatu hal yang tak mungkin jadi mungkin~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Mati di Tulisanku Sendiri

Kata-kata Yang Berlari di Tengah Jatuh Cinta

Bermain dengan Spotify Wrapped 2024