(CERPEN) Nafsi di Bulan Mei
Pagi
ini aku terbangun dengan harapan yang baru. Tidak ada lagi hal-hal tak
berguna yang akan aku lakukan, tak ada lagi teman-teman toxic, dan tak ada lagi
keluarga yang akan mengatur hidupku ini dan itu. Kurapikan tempat tidurku
dengan nafas lega. Bahwa saat ini, di rumah ini, Ayah dan Ibu pergi ke luar
kota dengan waktu yang tidak ditentukan, Aku berhasil mem-block kontak
teman-temanku, dan juga berhasil menghapus semua media sosialku yang biasanya
kugunakan untuk bereksistensi diri.
Perasaanku
sangat ringan, setelah sisa airmata yang kuhabiskan semalam. Di bawah temaram
lampu malam itu, ku sunyikan kejadian-kejadian yang mengingatkanku pada
penderitaan di masa lalu. Bagaimana kebodohanku untuk selalu unjuk gigi dan selalu ceria di
hadapan semua orang, bagaimana teman-temanku hanya memanfaatkanku dan menjebakku, dan
bagaimana orang tuaku selalu dan selalu menuntutku untuk berjalan sesuai
kehendak mereka. Memang, akhir-akhir ini mereka semua amat sangat menyebalkan.—karena
biasanya pun menyebalkan.
Kulangkahkan
kakiku ke kamar mandi, segera ku membersihkan diri untuk menyempurnakan diriku
yang baru. Disaat tangan kiriku hendak meraih sikat gigi, ku tak melihat ada
cincin yang biasanya melingkar di jari manisku. Sejenak ku mengingat-ingat kembali
kemana perginya cincin kecil bermata berlian itu. Kucari di dalam dan luar
kamar mandi pun tidak ada. Kurasa, ada di kamar, pikirku. Alhasil kulanjutkan
saja aktivitasku tanpa memikirkan apapun.
Ku
bersenandung seolah kepenatan dalam dadaku telah memudar. Memang benar,
bernyanyi dalam kamar mandi adalah satu-satunya cara membuat suaramu enak
terdengar. Sejenak kumelupakan persoalan cincinku yang menghilang. Setelah
menggunakan baju dan kulangkahkan kakiku
keluar kamar mandi, kumerasa ingatan tentang cincin tersebut pun kembali.
Segera kuberlari ke kamar dan mencarinya.
Cincin
tersebut ialah cincin yang diberi Ayah Ibu lima tahun lalu saat umurku beranjak
17 tahun. Hadiah dari mereka yang sangat aku senangi seumur hidupku. Ringnya cukup
ramping berwarna emas. Begitu cantik dengan kilauan berlian sebagai mata cincin
tersebut. Sejenak aku berpikir, apakah ini sebuah tanda bahaya yang akan
terjadi kepada Ayah Ibu atau bahkan aku?
Kehilangan
sebuah benda, apalagi benda yang sangat disayangi mitosnya akan kehilangan seseorang
pula. Kumencoba membuang pikiran itu jauh-jauh dan mencari kembali cincin
tersebut.pada tempat tidur, sela-sela meja, kolong Kasur, bahkan meja rias,
namun tak juga kutemui cincin itu.
“Ah
apa ku taruh cincin tersebut di kotak kenangan?”
Kotak
kenangan ialah sebutan yang kuberikan kepada kotak kardus berwarna coklat muda
untuk menyimpan benda-bendaku yang sudah tak terpakai. Isinya hanyalah buku
diary dari tahun ke tahun, boneka pemberian mantanku, dan hadiah dari beberapa
teman SMAku. Kemarin malam memang kumembuka kotak itu untuk menulis diary.
Tapi, walaupun sudah kukeluarkan semua isinya, tak kutemukan pula cincin
tersebut.
Aku
memuttuskan untuk istirahat, karena perutku sudah mulai keroncongan. Ku melihat
meja makanan, sangat bersih tanpa makanan satu pun. Ibu pergi tanpa memasakan
makanan memang sudah biasa, tapi tanpa menyediakan bahan makanan untuk kumasak
itu sungguh keterlaluan. Selama ini memang Ibu selalu sibuk sampai jarang
sekali membuatkanku makanan. Mungkin itu jugalah salah satu alasan Ayah
sehingga ia selalu makan dan ‘jajan’ di luar.
Kuputuskan
untuk memasan makanan melalui aplikasi. Untunglah saat ini kita bisa
mendapatkan makanan hanya melalui teknologi. 15 menit berselang, soto mie ku
datang. Segera kukembali ke dapur. Ketika hendak mengambil piring di lemari,
entah kenapa piring itu terlepas dari tanganku.
“PRAANG”
Ah
sudah, drama sekali ini, pikirku sambil menghela nafas mengeluh. Apa memang
benar akan ada musibah yang menimpaku? Atau keluargaku? Atau teman-temanku? Seperti
di sinetron dan drama TV yang biasanya apabila piring atau gelas pecah akan
selalu ada musibah dan kecelakaan? Segera kubersihkan piring pecah tersebut dan
membuang pikiran negatif yang bersarang di kepala tersebut.
Toh,
apabila mereka benar-benar akan terkena musibah, sudah tidak ada urusannya
denganku. Karena mulai hari ini kuputuskan semua yang berhubungan dengan
mereka. Dan aku tidak akan menyesalinya.
Kutandaskan
soto mie dengan nasinya sampai tak bersisa. Setelah diingat-ingat, aku terakhir
makan kemarin lusa. Karena kemarin seharian aku berkurung diri di kamar. Karena
melihat perkelahian Ayah Ibu pada pagi hari dan siangnya kumelihat teman-teman
dekatku mengunggah foto-fotoku tanpa seizinku melalui akun Instagram anonim. Foto-foto
tersebut ialah foto-foto aib yang berupa gambar diriku ketika melakukan sesuatu
yang hanya kukirim di grup teman-temanku.
Aku
kembali ke kamar, dan mencari cincin yang hilang. Pasti ada di suatu tempat
pikirku. Malam kemarin, aku sangat kalut, sampai tidak menyadari segala sesuatunya.
Termasuk benda kecil yang melingkar di jariku. Sejenak kumelihat kalender dan
menunjukan tanggal 1 Mei. Betapa kalutnya aku sampai aku tak mengingat pula
ulang tahun sendiri.
Biasanya
aku ulang tahun bersama kecupan Ayah Ibu di pagi hari dan juga pesta bersama
teman-temanku dari siang sampai malam hari. Tapi, tahun ini berbeda 180
derajat. Aku bahkan sampai tidak menyadari ulang tahunku sendiri. Toh, saat ini
tidak ada yang pantas untuk dirayakan. Di saat keheninganku, mendadak lampu
kamar mati. Setelah kucek AC, ternyata memang mati juga. Akhir-akhir ini PLN
memang sering memadamkan listrik. Atau memang jangan-jangan semua yang ada di
sekelilingku menjadi sangat menyebalkan?
Tiba-tiba
ada yang mengetuk pintu depan dengan sangat keras. Ketukannya memburu seperti meminta
untuk segera dibuka. Tanpa pikir panjang, ku membukakan pintu. Dan kumelihat satu
buah kue ulang tahun berukuran besar di bawah pintu tanpa ada satu orang pun. Ketika
hendak menutup pintu kembali, terdengar suara terompet berbunyi sambal beberapa
orang keluar dari balik garasi mobil dan menyanyikan lagu ulang tahun.
“Happy
Birthday to you, Happy birthday to you, Happy birthday Meisya Sari, Happy Birthday
to you!”
Aku
termenung tanpa sedikitpun terharu atau merasa senang. Kini aku benar-benar
percaya terhadap mitos yang biasanya terjadi. Aku tidak kehilangan mereka, ternyata aku kehilangan
diri ku sendiri. Mereka tidak terkena musibah, akulah yang terkena musibah. Bahwa
aku tidak pernah bisa lepas dari mereka. Bahwa aku tidak pernah terlepas dari lingkaran setan tersebut. Kulihat lima orang temanku dan Ayah
Ibu tersenyum senang menatapku.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nukilan:
nafsi1/naf·si/ n 1 diri sendiri; orang-seorang; 2 sifat mementingkan diri sendiri;
bernafsi-nafsi/ber·naf·si-naf·si/ v (menurut kepentingan) orang-seorang, sendiri-sendiri; secara perseorangan; mementingkan diri sendiri:
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nukilan:
nafsi1/naf·si/ n 1 diri sendiri; orang-seorang; 2 sifat mementingkan diri sendiri;
bernafsi-nafsi/ber·naf·si-naf·si/ v (menurut kepentingan) orang-seorang, sendiri-sendiri; secara perseorangan; mementingkan diri sendiri:
nafsi2/naf·si/ Jk n kemarahan; panas hati; nafsu
Komentar
Posting Komentar