Simalakama Tubuh

Tak pernah terpikirkan bahwa tubuh memiliki kehendaknya sendiri. Meski logika sudah berkata 'jangan', namun tubuh ini tetap memeluknya erat seperti tak mau kehilangan lagi.

 

Jurang pembatas itu masih tetap ada, bahkan walau hanya tatapan kita hanya terpaut 10 senti. Kau tetap membuatnya jelas. Setelah semua sesak tangis yang terjatuh, kita bertemu kembali dengan menyalahkan satu sama lain. 

"Aku hanya mengikuti maumu makanya pergi," seperti biasa untuk semua perdebatan kita, kaulah yang selalu memutarbalikan keadaan.

"Kamu yang nggak ngerti, waktu itu aku butuh kamu banget," lirihanku pun tetap membuatmu tak mengerti.

Banyak hal-hal yang tak pernah kau lihat selama denganku, contohnya adalah tawaku di antara tangis. Kesalahpahaman selalu menghantui kita seperti tak pernah mengetuk pintu. Hadir di antara ruang dan waktu, sementara kamu tetap berdiam diri seolah tak peduli.

Hingga pada saat itu, aku lelah dengan jurang itu. Aku lelah dengan semua yang tak kau pahami tentangku. Aku lelah menjadi seseorang yang membuatmu harus memahamiku. Kusudahi semua itu. Namun, selang beberapa waktu, perjumpaan tak bisa dihindari.

Lagu 'interaksi' yang mengalun di cafe itu pun seolah menyembulkan atmosfer panas ke seluruh ruang. 

"Aku cape,"

"Namanya juga manusia, pasti cape, istirahat lalu lanjut lagi,"

"Kamu mau lanjut lagi?"

Kamu menatapku dalam, "Asalkan sama kamu, mau."

Kutatap matanya lebih lama. Mata yang sebelumnya pernah melewatkanku. Kucari kebenaran, apakah beneran ucapan itu tumbuh karena sayang atau hanya karena kesepian. Akan tetapi, tak pernah kutemukan jawabanya. Tak pernah. Meski badanku mulai mendekat, merengkuh punggungnya pun tak jua ketemukan jawaban. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Mati di Tulisanku Sendiri

Kata-kata Yang Berlari di Tengah Jatuh Cinta

Bermain dengan Spotify Wrapped 2024