Kau Harus Tahu Luka untuk Mengenal Darah





Baginya membuat puisi patah hati adalah keahlian yang sangat ia tekuni. Ia menerima semua rasa sakit tersebut dan berlarut-larut di dalamnya untuk membuat bait demi bait-- yang sebenarnya tak pernah aku mengerti.


“Kamu gak suka baca, Vito. Makanya kamu gak ngerti,” pernah suatu hari ia mengucapkan hal tersebut.


Aku hanya menyeringai tipis. Ucapannya tersebut sebetulnya salah. Aku mengerti apapun yang ia tulis, aku tau semua perasaan yang ia punya dari kalimat-kalimat itu. Namun, aku tak habis pikir dan terus bertanya di otakku, untuk apa perempuan seceria itu terus menerus membuat puisi sedih yang sebenarnya banyak hal bahagia yang ia tangkap.


Pertemanan kami sudah berjalan lebih dari 12 tahun, sejak kami bersama duduk di bangku sekolah dasar. Aku sebagai murid pindahan di kelas 5 terpaksa harus mengejar ketertinggalan dan dipasangkan dengan Alaia, murid terajin di kelas. 


Hingga dari waktu ke waktu aku selalu berada di sisinya, bahkan sampai kami mempunyai kekasih masing-masing di usia hampir kepala tiga ini. Ia terus menerus bertemu dengan orang, berkencan, tetapi ujung-ujungnya membuat puisi patah hati lagi. 


“Kamu terlalu banyak baca puisi Aan Mansyur itu, Al. Jadinya mellow terus,”


“Loh, puisi Mas Aan sweet loh, itu banyak puisi cinta untuk istri dan anaknya,” sanggahnya.


“Lalu, kenapa kamu gak pernah membuat puisi cinta ataupun puisi bahagia juga?” tanyaku setelah membaca dua puisi yang ia tulis minggu lalu. 


Seperti biasa, ia tak bisa menjawabnya. Setelah beberapa detik keheningan terjadi, ia pun mulai membuka suara.


“Mungkin karena itu sebagai bentuk perayaan kesakitan yang aku alami,” ujarnya pelan.


Aku menghembus pelan mendengar jawabannya. Aku ingat hari-hari di mana ia menahan tangis meski sedang menamatkan nasi goreng kesukaannya hanya gara-gara ditinggal nikah. Aku juga ingat saat ia mengeluarkan kekecewaannya dari hubungan yang tak jelas dari kakak kelas yang ia kagumi. Dan masih banyak lagi ingatan-ingatan yang sebenarnya tak ingin aku ingat tetapi linangan air matanya selalu menyulitkanku. 


Ia pun melanjutkan, “Aku jadi tahu rasanya berdarah seperti apa, To.”


Sebenarnya, bisa saja aku menyanggahnya dan bilang, ‘Jangan bicara soal luka dan darah denganku karena aku sudah tau rasanya bagaimana perempuan yang kusayangi merasakan itu juga,’. Tapi, tentu saja kutahan ucapan tersebut. Aku tak ingin menambah rusak malamnya, malam ulang tahunnya.


**


Pulang dari perjalanan jauh tak pernah semelelahkan itu bagiku. Namun, trekking ke Sentul  menjadi hal paling melelahkan, di saat semua yang aku coba pertahankan, ambruk begitu saja. Seperti menyusun lego dengan amat apik tetapi hanya dengan satu kali hentakan meruntuhkan segalanya. Saat ku mengetahui bahwa orang yang kupercaya, semudah itu melepaskanku. 


Di hidup yang sudah rumit ini rasanya aku tak bisa membuatnya tambah rumit hanya gara-gara sebuah hubungan yang kandas. Namun, bagi temanku, cara itu hanya membuatku semakin menggali kuburan sendiri.


“Kamu membuat puisi sedih memangnya dia ngerti?” pertanyaan retorik.


Kalimat-kalimat retorik memang selalu terlontar dari mulutnya. Tak perlu ku menjawabnya karena begitulah caranya menyadarkanku. Vito selalu begitu.


Aku hanya selalu bisa jawab, “Kamu gak suka baca, Vito. Makanya kamu gak ngerti.”


Setelah ratusan hari aku bersama orang lain, berbicara tentang cincin, tabungan, dan rumah masa depan, tetapi nyatanya itu hanya sampai di kepala saja. Setelah perpisahan itu, aku lama perlu percaya kembali bahwa hidupku baik-baik saja. Ditambah dengan kesehatan yang menurun, membuatku tak bisa percaya dengan siapapun--selain puisi sedih.


Hingga di satu titik, aku merasa aku memang sudah berada di jalan yang benar. Tuhan memang selalu mengambil sesuatu untuk menggantikannya dengan yang lain. Pada kue ulang tahunku ke 28, aku menuliskan ‘Selamat Lahir Kembali’.


Sempat tak pernah merayakan ulang tahunku selama dua tahun, Vito kembali berada di depanku memasangkan lilin. Kue ulang tahun yang sebenarnya tak pernah ku dapatkan selama dua tahun dari orang yang bersamaku sebelumnya. 


Tak ada obrolan tentang harapan-harapan, karena rasanya aku tak ingin berharap apapun lagi. Hanya saja Vito menginisiatif untuk berdoa,


“Semoga bersamaku, kamu jadi bisa buat puisi bahagia, paling bahagia dan kita tak perlu mengenal darah lagi,” ujarnya sambil menatap mataku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Mati di Tulisanku Sendiri

Kata-kata Yang Berlari di Tengah Jatuh Cinta

Bermain dengan Spotify Wrapped 2024