Tuhan, Aku belum Siap!
Sudah
tiga kali aku mendengarnya, sudah 3 kali aku merasakannya, sudah 3 kali pula
aku melihatnya. Mendengar, satu-persatu saudara-saudaraku mendahuluiku.
Merasakan, kehilangan teman-temanku. Melihat, kesedihan yang dialami semua
orang di sekitarku.
Mungkin
inilah yang dinamai kenikmatan hidup. Kita masih tetap bisa menghirup oksigen
dan mengeluarkan karbondioksida. Kita masih bisa berfikir dengan jelas, kita
masih bisa berjalan-jalan, berbicara. Sebelum semua itu tidak bisa kita miliki
lagi.
Aku
masih mendengar jelas apa yang diucapkan salah satu temanku. Adik kelas yang
dulu masih satu sekolah denganku. Aku terakhir bertemu dengannya tiga hari
sebelum Ia menghembuskan nafas terakhir kalinya. Aku melihatnya. Ia masih bisa
tertawa dan berbicara dengan teman-teman sebayanya. Namun, ketika mendengar
kecelakaan itu. Kecelekaan yang merenggut nyawanya. Kecelakaan yang membuat
kaget semua orang, kecelakaan yang semua orang bilang tidak sangka. Aku masih
terpaku mendengarnya kala itu.
Dan,
aku seperti melihat lagi kejadian itu.
Waktu
itu aku hendak pulang ke rumah. Aku baru saja menyelesaikan kelas kursusku.
Hari sudah menggelap, langitpun tanpa sinar rembulan dan bintang malam itu.
Aspal jalanan masih terlihat basah dan becek, karena hujan baru saja reda
mengguyur wilayah itu.
Aku
baru saja melihat teman-teman lamaku yang
mengendarai sepeda motor. Walaupun aku tidak terlalu dekat dengannya,
tetapi setidaknya mereka masih teman-temanku. Ya, teman sewaktu SMP.
Ada
dua motor yang menyalib angkot yang kutumpangi. Padahal dalam jarak 15 meter di
depanku masih ada angkot lain. Kedua pengendara motor itu dua-duanya masih
teman-temanku. Yang satu masih bisa mengontrol gas di motornya. Tetapi, motor
yang dikendarai temanku satu lagi tidak
bisa mengerem dan melaju dengan kecepatan gas tinggi. Hingga akhirnya, motor
temanku menabrak bagian belakang mobil
angkot itu dan terpental. Motornya terlihat hancur. Serpihan kacanya
berceceran. Dua pengendarannya tergeletak di atas aspal itu. Aku menjerit
melihat kejadian naas itu, tak mampu aku melihatnya. Tetapi aku melihatnya
dengan begitu jelas. Karena aku berada di depan mereka.
Harapku,
tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Tetapi, ketika aku mendengar lagi. Ada
seseorang diantara mereka yang meninggal. Setelah aku bertanya-tanya ke penumpang
lain, ternyata yang meninggal di tekape itu yang di bonceng. Ia masih temanku
juga.
Terlintas
ketika waktu dulu. Ketika kelasnya masih bersebelahan dengan kelasku. Ia seorang
siswa yang agak pendiam dan nampaknya penurut. Orangnya tak banyak bicara.
Ternyata usianya begitu pendek. Selamat jalan teman. Semoga Yang Maha Penyayang
menempatkanmu di tempat yang layak. Diampuni segala dosa dan khilapmu.
Diterangi jalanmu di alam barzah. Amin.
Aku
belajar banyak atas yang telah terjadi dari teman-temanku. Sesungguhnya,
teman-temanku adalah guru dalam kehidupanku. Aku jadi semakin takut
meninggalkan dunia dengan cara seperti itu. Mengerikan. Aku berharap, tidak
terjadi denganku dan teman-temanku yang lainnya.
Tetapi,
umur seseorang memang tidak ada yang tahu. Waktu dan tempatnya. sedang apa Bila
sudah tiba waktunya, nyawa ini akan meninggalkan badan kita. Tanpa bisa
ditunda-tunda barang sejenakpun. Semuanya sudah tertulis, bahkan sebelum kita
terlahir didunia , begitu kata ustadz yang jadi guru agama di sekolahku.
Aku
belum siap menghadap – Mu, ya Allah! Masih banyak dosa-dosa yang telah kuperbuat sedangkan taubat belum kulakukan. Masih
banyak amalan-amalan menurut syareat-Mu yang belum kukerjakan, sedangkan
amalan-amalan yang tidak Engkau syareatkan sering kulakukan. Bila boleh
meminta, beri aku waktu lagi. Aku akan membalas dosa-dosaku dengan
kebaikan-kebaikan kulakukan. Akan kukerjakan amalan-amalan yang sempat
tertunda.
Untuk
saudara-saudarku, teman-temanku yang sudah menikmati aroma surga.. ()
Komentar
Posting Komentar