(PUISI) Tolong, hentikan.
Sepanjang renggang yang tertempuh, imaji-imaji terkutuk mengetuk kesadaranku. Menawarkan berbagai macam cara mecinta. Fana yang bertabur selepas sepi, menggantung pada pikiran berujung jantung: jantung. Masa habis. Harapan terkikis. Doa-doa mati tertelan sunyi. Janji swara mengabu; menjadi abu. Kata-kata menjadi lapar dan aku tertampar pada nyata yang terdampar. Angan melahap habis aku tanpa baju. Melalui inginku, memanfaatkan instingku. Waktu berlagak maju. Detik melambat dan aku tertambat: pada pilihan-pilihan, pada angan-angan, pada kesenangan-kesenangan, pada kesakitan-kesakitan, pada Lagu-lagu cinta yang menguras kewarasan. Mimpi yang terlahir di lumbung musim, membawaku ke sebuah adegan dimana ku menemukan diriku tertatih-tatih memuja, tanpa letih. Suatu adegan tragis untuk perempuan selain menangis. Lalu mimpi yang kubuka di balik jendela itu pun menyapa. Semakin lama, semakin tajam, kelam, dan aku sungguh tertelan. Telan. Perasaan menggebu untuk siapa, aku tak tahu...