(CERPEN) Piring-piring Ibu
Meja bundar itu lebih sunyi dari biasanya. Beberapa
butir anggur tergeletak di piring berwarna abu dengan posisi berada di tengah
nasi putih dan ikan asin. Aku pikir yang dibanggakan dalam makan malam kali ini
ialah beberapa anggur tersebut.
“Dari
siapa anggur ini, Bu?”
“Kau
tak percaya ibu membelinya karena biasanya Ibu tak punya uang? Sebegitu tak
percayanya?”
“Tidak
juga” Jawabku dingin.
Sepanjang makan malam tersebut,
hanya ada suara kunyahan Ibu yang seringkali disertai hembusan. Seolah tiap
helaannya ialah keluhan yang selalu ingin ia muntahkan dari bertahun-tahun
lamanya. Ikan asin ini tak terasa asin, karena kehambaran yang hanya bisa
kurasakan lewat lidah ini. Selepas ia makan, ia langsung beranjak dari meja dan
mencuci tangan. Tanpa berbicara denganku lagi, tanpa menatapku lagi.
Segera kuhabiskan sisa makananku dan
mencuci piring sialan ini. Sambil meratapi bahwa beberapa tahun belakangan ini
kami memang hanya memiliki dua piring besar. Satu piring makan untukku. Satu
piring makan untuk Ibu. Beberapa piring lainnya satu persatu menghilang
terbentur tembok yang Ibu lemparkan berkali-kali karena perkelahian dengan
Ayah.
Lima tahun yang lalu, umurku
beranjak 20 tahun. Untuk kali pertama dalam dua puluh tahunku, aku melihat
pertikaian besar di antara keduanya. Selama 20 tahun, aku hidup dalam keluarga
yang dibilang harmonis tanpa ada pertikaian. Namun, Tuhan memang selalu
memutarbalikan keadaan. Ayah lebih jarang pulang dan Ibu stress berkepanjangan.
Hingga puncaknya di hari itu, Ibu melempar piring yang biasanya Ayah pakai
untuk makan. Dan semenjak itu, tak pernah lagi kutemukan Ayah berada di rumah
ini serta bersenda gurau sambil menikmati kopi di beranda rumah. Yang kutemukan
ialah lumuran darah Ibu di pergelangan tangannya.
Saat itu, aku hanya berdoa, panjangkanlah umur Ibu,
jangan hilangkan dia dariku.
***
Doaku
terkabulkan. Aku dan Ibu masih hidup walaupun sudah melewati tahun-tahun yang
pelik. Dimulai aku memutuskan untuk cuti kuliah karena harus menemani mental Ibu
sampai harus kerja serabutan untuk menambah uang sehari-hari. Hingga saat ini,
kehidupanku dan ibu masih seperti ini-ini saja. Mungkin, pada saat itu, aku
lupa berdoa untuk sejahterakan hidup aku dan Ibu, selamanya.
Jika
sekarang, akankah masih ada waktu untuk berdoa dan terkabulkan?
~~~
Cerpen yang hanya tak lebih dari dua lembar itu membuat Riandi menggeleng-gelengkan kepalanya. Apakah penulis ini tidak niat mengirimkan cerpen ke majalahnya? Apakah penulis ini hanyalah seorang penulis pemula? Apakah penulis ini hanya curhat? Apakah penulis ini tidak membaca syarat dan ketentuan jika ingin mengirimkan karya ke majalah? Perempuan berusia 28 tahun tersebut menghembuskan napas. Selama ia bekerja dan membangun penerbitan majalahnya, baru kali ini ia melihat cerpen yang minim.
“Tapi,
Bu, cerpen ini gaya bahasanya bagus.”
“Dummy
kita untuk cerpen 3 halaman, Retno. Mau kau apakan satu halaman setengahnya
lagi?” Respon Riandi cukup tinggi dalam berbicara dengan bawahannya. Biasanya ia
tak pernah setinggi itu dalam berbicara.
“Mungkin
bisa ditambahkan rubrik lain, Bu” jawab Retno yang berstatus sebagai Dewan Redaksi
dalam majalah tersebut sangat canggung. Bukan kali pertama ia beradu selisih
dengan Riandi, tetapi inilah ia melihat Riandi seolah sangat kesal kepadanya.
“Hari
Ibu jatuh Hari Minggu tahun ini, majalah kita terbit Sabtu. Menurutmu keburukah
kita nambah rubrik lain? Mending cari cerpen yang lain dengan waktu kita tiga
hari lagi.”
Tak ada pilihan lain yang bisa
dilakukan Retno selain mengangguk. Jika Riandi sudah memutuskan seperti itu, Retno
hanya bisa pasrah. Retno harus kembali memilah cerpen-cerpen bertema ‘Ibu’
kembali.
Selepas Retno pergi dari ruangannya,
segera Riandi meminum secangkir teh di sampingnya. Masih banyak hal yang harus
ia kerjakan hari ini. Tetapi, ia menatap piring cangkir porselin berwarna biru
pucat itu. OB yang mengantarkan tehnya seolah tak melihat ada sedikit goresan
di piring cangkir kesayangannya. Ia bernapas panjang seolah ingin meredakan kekesalan
yang ia rasakan pagi ini.
Baru saja Riandi membuka file
perusahaannya, dering Whatappnya menggangu konsetrasi. Selintas ia melihat chatting-an
itu di layar,
“Riandi,
pulang gak minggu ini?”
“Ah
Ibu.” Hela Riandi kali ini.
Sekilas ia melihat piring yang tergores
itu, lalu melihat cerpen dengan judul ‘Piring-piring Ibu’ yang tadi ia tolak
mentah-mentah untuk dimuat di majalahnya. Sekilas pula ia melihat isi
percakapan dirinya dan Sang Ibu di WhatsApp, yang hanya menanyakan bagaimana
kabar Riandi atau menanyakan kepulangan Riandi. Segera ia membalas pesan
Ibunya,
“Belum
tahu, Bu. Nanti kukabari lagi.”
Setelah membalas chat itu, ia
tidak bisa fokus bekerja kembali. Lalu ia coba melihat ke luar jendela sambil melihat-lihat
kebun kantornya. Lantas ia pun membuka email dewan redaksi cerpen yang memuat tema
‘Ibu’ minggu ini. Ia membacanya untuk mengalihkan pikirannya, berharap bisa kembali fokus, tapi ternyata ia terhanyut
dalam cerita-cerita tersebut.
Ada yang menceritakan tentang
kesedihan seorang Ibu, perjuangan seorang Ibu mengsekolahkan anaknya, banting tulangnya
seorang single mother, kesepian seorang Ibu di hari tua, dan cerita-cerita
lain sebagainya. Semua mengandung kesedihan. Apakah cerita bertema ‘Ibu’ selalu
berujung kesedihan? Ia mengutuki penulis-penulis kurang kreatif yang hanya bisa
menjual kesedihan, terutama terkait Ibu.
Hingga, Riandi pun menutup semua
file cerpen-cerpen tersebut. Membiarkan Retno sendiri yang akan memilih cerpen
itu untuk majalahnya hari ini. Lalu, ia pun membuka Microsoft wordsnya, mencoba
merangkai kembali cerita yang ada di kepalanya. Ia sudah cukup lama tidak
membuat cerita pendek. Terlalu sibuk bermain logika dengan angka-angka untuk
menaikan eksistensi majalahnya.
Ia menulis dan terus menulis untuk
membuat cerita Bahagia tentang Ibu. Ibu adalah tokoh yang berhak bahagia seumur hidup, itulah yang dipikirkan dalam tempurung kepalanya. Pada halaman kedua, ia menangis, bahwa ia
menyadari satu hal hari ini. Segera ia menelpon Ibunya tanpa basa-basi,
“Ibu,
selamat hari Ibu."
“Loh,
ini masih tangal 17, Nduk."
“Tak
apa, bagiku, setiap hari ialah hari Ibu”
Sejak saat itu, Riandi tidak hanya
membuat cerita bahagia tentang Ibu. Tidak hanya fiksi, tapi fakta yang bertabur diksi.
Komentar
Posting Komentar