Tak Ada Kata Terbaik di Hidupmu
Aku menatap nanar matanya yang sepenuhnya tertutup. Mata yang dulu selalu menatapku di bawah bintang-bintang maupun plafon rumah makan saat menyantap makanan favorit. Rasa tak percayaku mencuat bagai gejolak air yang lumer dan membuat kompor meranggas. Ia terbaring koma di bangsal rumah sakit, yang aromanya menyengat hidungku. “Dua hari ia tak sadarkan diri, semenjak pulang dari rumahmu,” ungkap ibu paruh baya yang aku memanggilnya Mama. Sangat jelas hari itu ketika kami bertengkar hebat tentang hubungan kami ke depannya. Sampai di suatu titik ia pun mengucapkan hal yang tak pernah ingin aku dengar. “Cari yang lain aja, Sya. aku memang bukan yang terbaik,” ungkap lelaki yang selalu memakai sweater warna abu itu. Amarahku meredam menjadi buliran air mata. Bertanya-tanya, ‘mengapa tak kamu saja yang menjadi yang terbaik?’ atau ‘aku maunya kamu yang jadi terbaik, gak bisa?’Namun semua pertanyaan hanya muncul di sel-sel otakku saja tanpa mampu sel otak tersebut mengirimkannya ke...