Satu Hari Pergi ke Tempat Ahli Surga




Bagaimana kehidupan tanpa mampu mendengar dendang Mba Taylor Swift? Atau bagaimana rasanya pertumbuhan dan perkembangan intelektual yang sangat lambat? Apakah saya akan hidup seperti saat ini?


Mengunjungi sekolah luar biasa (SLB), membuat saya bersyukur bahwa hidup yang saya punya adalah sebaik-baiknya hidup.Sebagaimana kita tahu, keistimewaan identik dengan teman-teman berkebutuhan khusus.  


Beberapa minggu lalu, saya mengunjungi SLBN Surakarta untuk pekerjaan. Inilah pertama kalinya saya dinas ke SLB. Tak hanya berangkat dinas, ternyata saya menemukan makna di balik tugas tersebut. 


Meraih Passion dalam Senyap



Perkenalan saya dimulai dengan Ester, teman tunarungu yang memiliki bakat di bidang boga.  Sekilas, ia seperti remaja pada umumnya yang semangat mengikuti praktik membuat kue. Seragam putih abunya pun ditutupi celemek untuk terhindar kotor dalam memasak. Sorot matanya memancarkan semangat seolah berkata ‘Ini passion saya’.


Dibantu dengan guru, saya pun berkomunikasi dengan Ester. Ia sudah menekuni bidang boga sejak bangku SMPLB. Berawal dari melihat Sang Mama memasak, ia pun tertarik bagaimana caranya mengolah bahan masakan, menguleni adonan, bahkan menghias kue dengan pernak-pernik cantik. Itu pula lah yang ia lakukan ketika bersekolah di SLB.


Gerak gerik tangannya melambangkan rasa percaya diri, bahwa ia pun mampu mandiri dan menggapai mimpi di bidang yang ia cintai. 

Tentunya mungkin itu yang menjadi inti pendidikan. kita mampu menemukan siapa diri kita dan memperjuangkan di bidang yang kita cintai. 


“Saya tidak bisa berbicara dan mendengar, tetapi perasaan saya terungkap dari kue-kue ini,” begitu pesan Ester.



Melihat Hidup dari Hal-hal Kecil



Berkat tugas kerja ini, saya juga berkenalan dengan Ayu Dea, penyandang tunagrahita ringan. Masih bisa berbicara meski terbatas, matanya berbinar mengajar ngobrol saya. Ia bercerita tentang sosok yang ia kagumi, yaitu seorang selebgram-(yang sebenarnya saya pun tak tahu itu siapa). Tapi, dari situlah, saya paham, mereka butuh hal-hal kecil untuk tetap hidup dan tetap bersemangat.


“Aku senang sekolah, soalnya bikin gelang dan masak mie,” ujarnya kala itu.


Bagi kebanyakan orang, membuat gelang untuk suvenir serta masak mie merupakan pekerjaan yang mudah. Tapi bagi Dea dan teman-temannya, mereka perlu banyak belajar untuk bisa mandiri, bahkan bisa berbulan-bulan untuk melakukan suatu pekerjaan dengan benar. Kemandirian menjadi faktor utama yang diajarkan oleh sekolah agar bisa anak-anak berkebutuhan khusus dapat bertahan.


Foto-foto bersama mereka pun terasa sangat hangat dan meriah. Apakah ini rasanya merasa penuh di tengah kekurangan yang ada?


Ternyata, pepatah itu benar,

 ‘Kalau mau melihat ahli surga, pergilah ke SLB,”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata-kata Yang Berlari di Tengah Jatuh Cinta

Aku Ingin Mati di Tulisanku Sendiri

Bermain dengan Spotify Wrapped 2024