Jakarta: Poros Keterasingan
Bulan telah pingsan.
Mama, Bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
Dari lampu-lampu kota Jakarta
Dan gedung-gedung tak berdarah
Berpaling dari bundanya
Bulan telah pingsan
Diatas kota Jakarta
Tapi tak seorang menatapnya
-Rendra-
Alienasi
atau keadaan merasa terasing seringkali menjadi tebing kesadaran setiap
manusia. Terutama ketika berada di suatu tempat, yang menurut benak, tempat itu
bukanlah tempat kita. Keterasingan
sering terjadi ketika berada di kota-kota besar, dan sebagai poros keterasingan
di Indonesia ialah Jakarta.
Penggalan
Puisi karya penyair besar Indonesia tersebut menggambarkan bagaimana Bulan pun
merasa terasingkan di Jakarta. Dapat pula digambarkan, Bulan merupakan sosok manusia
yang merasa ‘asing’ dengan hidup di lingkungan yang heterogen. Sebagian besar,
orang yang tinggal di Jakarta ialah pendatang dari berbagai penjuru di nusantara.
Mereka memiliki kebiasaan yang berbeda, adat yang berbeda, bahkan ideologi yang
berbeda. Dan apabila semua itu saling bertubrukan saatu sama lain, akan menghadirkan kondisi yang tak dinginkan. Yaitu
keterasingan.
Mari diperjelas,
ketika mereka di kampung masing-masing, mereka terbiasa untuk saling peduli dan kekerabatannya begitu
kuat. Ketika mereka menginjakkan kakinya di ibukota yang terkesan individualis,
kebanyak dari mereka pun akan merasa terombang-ambing. Entah harus berpijak
pada apa, dimana, dan siapa. Maka dari itu, keterasingan selalu menjadi sindrom
bagi siapapun yang baru keluar dari zona nyamannya.
Biangnya
ada di Jakarta, namun pemanisnya pun dapat ditemukan di Jakarta. Jakarta memang
dapat membuat seseorang merasa terasing dan penat dengan rutinitas. Tapi,
seterasing-asingnya manusia, akan selalu menemukan kenangan, meskipun itu
hanyalah sisa-sisa. Pengalaman pernah masuk dalam ‘Jaring laba-laba’ Jakarta
memanglah bukan sesuatu yang luar biasa, tetapi dampak keterasingan itu lah
yang dapat menjadi pembelajaran untuk bisa menyesuaikan diri dimanapun dan
kapanpun.
Komentar
Posting Komentar