Kentang Goreng dan Minggu Sore
Bertemu dengan Bulan Maret kembali. Bertemu dengan akhir
minggu kembali. Bergegas menuju tanah ibukota kembali.
Ada sepotong
kisah yang selalu terangkai oleh semesta. Salah satunya, rutinitas Minggu sore
yang tak jua kunjung selesai; kembali ke poros peradaban. Sudah satu semester
ini, aku dirumah hanya pada waktu weekend, Meski tidak setiap minggu. Namun, setiap
akan kembali ke Jakarta untuk menempuh pendidikan, ada sosok yang selalu
menyembunyikan kekhawatirannya padaku.
Ibu.
Jumat pagi,
berbekal kepenatan dengan runtutan tugas, seperti biasa sepucuk surat elektronik
sampai ke handphoneku. ‘Pulang hari ini, teh?’ atau ‘Jangan sampai rumah malam-malam.
Pulangnya Sabtu pagi aja’ Kurasa inilah yang dinamakan tempat pulang. Ketika ada
seseorang yang menantikanmu dengan lapang.
Menghabiskan
waktu kira-kira 48 jam di rumah, selalu tak terasa. Entah mengapa dan bagaimana
selalu muncul hasrat dalam benak; ingin tetap disini. Tapi, memang ada beberapa
hal yang harus tetap kuprioritaskan. Tentu saja pendidikan karena itulah Sumber
semangat ibu yang ingin melihat anaknya berpendidikan.
Minggu
pagi, beliau sudah pasti menanyakan hal-hal yang aku anggap remeh namun
menurutnya itu perlu. ‘Mau bawa apa ke kosan?’ ‘Bawa jeruk yah jangan lupa’ ‘Teh,
ibu beliin Ester-C, diminum atuh’ ‘Susu dikosan masih ada gak?’. Dan Minggu
siangnya beliau sudah siap tempur di dapur untuk memasak kentang goreng sebagai
teman makanku. ‘Bawa ini, biar gak usah beli makanan cemilan lagi.’
Siapa pun
ibu di dunia pasti begitu. Ada beberapa
hal yang harus beliau lakukan untuk membahagiakan anak-anaknya. Ada beberapa
hal yang sudah Ibu persiapkan secara matang, meski pun oleh anaknya ditentang. Ada
beberpa hal yang sudah ibu pikirkan, meski anaknya tak kunjung jua pengertian.
Aku selalu
menyesal ketika sudah berada di tanah rantau kembali. Waktu 48 jam itu tak
kuhabiskan semaksimal mungkin bersamanya. Banyak waktu yang telah tercurah
hanya berada di depan laptop atau teknologi bernama smartphone. Seharusnya aku bisa menjadi pelipur
gelisahnya, seharusnya aku bisa menjadi sosok yang menebus kekhawatirannya. Aku selalu berusaha untuk sekedar berbasa-basi menanyakan 'Sudah makan, Bu?' meskipun itu kadang-kadang kulakukan.
Maka ada beberapa hal yang aku
pelajari dari renungan hujan kali ini. Kentang gorengnya, pengorbannanya,
kekhawatirannya, dan bahkan kasih sayang seorang Ibu akan tetap membekas di
hati anaknya. Hingga seluruh anak tersadar, cinta seorang Ibu tidak dapat
menembus pikiran dan logika.
Entah
homesick atau bukan.
-Rawamangun-
Minggu malam, 26 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar