Bintang di ujung langit
Langit kelam malam itu, hanya terlihat bentangan warna biru
gelap di angkasa. Tak ada bulan maupun
bintang berkelip di tengah langit malam. Gadis berambut gelombang berdiri di teras rumah dengan kepala
menanggah ke atas. Tak ada pemikirannya selain apa yang menyebabkan langit tak secerah
seperti biasanya. Apakah bulan dan bintang tertelan dan tak bisa muncul? Apakah
ada hal lain yang membuat langit malam kali ini begitu muram?
Tanpa
ia sadari, ada seorang yang berdiam diri di sebelahnya. Seorang itu pun ikut
menatap langit gelap. Sampai gadis itu tersadar, ia hanya bertingkah biasa
saja. Gadis itu beranggapan bahwa seseorang yang berada disamping sudah tak
asing ia temui dimana-mana. Ia selalu ada di samping gadis itu. Namanya ialah
Riko. Teman semasa kecil hingga sekarang.
“Langit malam sekarang ini bukan berarti benda-benda langit
tertelan dan menghilang. Atau mereka sedang bersedih. Kalau bulan tidak ada
berarti karena faktor revolusi bulan terhadap bumi. Sedangkan bintang tidak
ada, karena faktor cuaca. Kamu terlalu banyak mengkhayal sih, jadi jawaban yang
seharusnya ilmiah malah ngawur.”
“Kok kamu bisa baca pikiranku?”
“Dengar Rena Andini! Aku kenal kamu dari kita segede biji
jagung. Aku tahu apa isi otak kamu, hanya berisi khayalan-khayalan gila.”
“Biarin gila juga. Toh dunia saya, apa urusanmu?” Rena agak
sedikit jengkel dengan perkataan Riko dan meninggalkan Riko di teras rumah
sendirian. Sedangkan ia memasuki rumahnya.
Entah
mengapa, hari ini Rena ingin sekali pulang cepat dari sekolah. Ketika lonceng
pulang menggema, ia langsung menuju gerbang sekolah. Dengan jalan yang
tergesa-gesa, tetapi ujung matanya menangkap poster menarik di mading sekolah
yang ia lalui. “Festival Bulan Bahasa” rupanya. Ada semangat yang datang
mendadak ketika itu. Lalu ia pulang menuju rumah dengan pikiran yang sedang
mengelana. Ia mengkhayal, untung masih bisa untuk pulang ke rumah.
Sesampainya
di rumah, ia langsung mengambil pulpen dan kertas-kertas. Ia menulis apa yang
ada di dalam pikirannya. Setelah dua jam watu menglir, satu buah karya selesai
ia buat. Rena kembali membaca cerita pendeknya yang ia buat, mengedit kembali
apabila ada kata-kata yang kurang pas. Lantas Rena pergi menuju rumah Riko.
Pembaca pertama ketika ia telah selesai membuat karangan.
Riko
membaca tulisan tangan itu dengan seksama.
“Konfliknya kurang WOW” jawaban datar itu keluar dari mulut
Riko dan ia meletakkan kembali kertas di meja.
Walaupun
jawaban Riko kurang memuaskan, tetapi Rena coba untuk menerimanya. Harus siap
terima kritikan dan masukan dari siapapun jika ingin sukses. Bukankah begitu?
Riko melanjutkan PR Fisikanya dengan telaten, bahkan Rena pun sama sekali belum
menyentuh PR Fisikanya. Sedangkan Rena kembali ke rumahnya dan membuat
cerita-cerita lainnya yang berasal dari imajinasinya sendiri.
Ada
lima buah karangan yang berhasil Rena buat. Rena sama sekali belum mengganti
baju seragamnya ,ia belum mandi apalagi makan. Begitulah Rena, ia akan lupa
segalanya jika sudah berada di lingkup dunianya. Rena keluar dari gua tempat ia
mengkhayal yaitu kamarnya sendiri. Pergi menuju kamar mandi setelah itu makan
sepuasnya. Ia merasakan lapar yang amat dahsyat. Di ruang makan, ia mencium
bau-bau hasil pembakaran. Apakah ada yang terbakar di rumah ini?
Betapa
kagetnya Rena, ketika mencari asal bau ke dalam kamarnya. Ternyata Papa sedang
membakar kertas di dalam kamarnya. Dan kertas itu... naskah-naskah untuk lomba
di Festival Bulan Bahasa!
“Kertas-kertas ini tak berguna! Papa sudah bilang Rena,
berhenti melakukan hal bodoh! Kau itu melakukan yang tak ada gunanya sama
sekali!” Papa berbicara dengan nada keras, sudah biasa bagi Rena. Dan membuat
air matanya mengalir pelan di pelipis matanya
“Tapi Pa.. naskah-naksah itu sangat berguna buat aku. Aku
akan kirimkan naskah cerpen itu ke Festival Bulan Bahasa. Mengapa Papa terus
menekan aku tuk berhenti di dunia yang aku sukai sih Pa?!”
Papanya
Rena sangat membenci Rena menggeluti bidang tulis-menulis. Entah mengapa, Rena
tak pernah tahu alasannya dan tak pernah diberi tahu. Tetapi, Rena tak mau
melepas kesukaannya demi apapun itu. Maka dari itu, ia selalu menulis cerita
diam-diam. Naskah-naskah ceritanya ia sembunyikan di rumah Riko. Namun
sayangnya, kali ini ia lupa menyembunyikannya ke lemarinya terlebih dahulu. Dan
hanya tergeletak begitu saja di tempat tidur.
“Diam kamu! Masih
bisa melawan rupaya!” seraya Papa berbicara begitu, tangan Papa pun menampar
pipi Rena.
Rena
menghambur keluar rumah. Matanya semakin panas dan semakin ingin terus
menangis. Dengan pipi sebelah kanan yang terlihat merah, ia tutupi dengan
tangannya. Ia hanya ingin ke tempat yang dapat membuatnya lebih tenang. Rumah
Riko. Rena mengetuk jendela kamar Riko dengan lemas. Riko agak ragu membuka
jendela, malam-malam seperti ini siapa yang iseng mengetuk jendela?
Jangan-jangan.. Riko berpikir yang bermacam-macam. Tapi, ia mendengar namanya
dipanggil. Suara itu sama sekali ia kenal. Ia membuka jendela,
“Rena!!!”
Riko
mempersilahkan Rena memasuki rumahnya. Rena sangat kacau malam itu, tapi
pesonanya masih bisa terlihat di mata Riko. Rena menceritakan segala yang
terjadi : niatnya untuk mengikuti lomba, harapannya, imajinasinya,
naskah-naskahnya yang dibakar, dan tamparan Papa. Kejadian itu seperti ada
Remot Pengaturnya yang, selalu terulang lagi, lagi dan lagi di otaknya.
“Aku benci Papa, Riko!!” akhirnya pernyataan itu keluar.
Pernyataan yang menyesakkannya semejak tadi dan hari-hari sebelumnya ketika
Papa melarangnya untuk menulis. Di sinilah bagian Riko untuk menepuk punggung
Rena beberapa kali dan membiarkan kepala Rena di pundak Riko. Ada sengatan
listirk yang Riko rasakan ketika Rena mendekatinya. Entah apa artinya.
“Bagaimana pun itu juga Papa kamu Ren, jangan membeci orang
tua. Gak baik loh. Kalau saranku sih, lakukan saja apa yang menurutmu benar.”
Riko berkata semampunya, ia tak tahu harus berbicara apa. Linangan air mata
Rena pun menetes ke lengannya. Dalam sisi lain, ia tak mau melihat Rena terus
menangis dan bersedih.
“Ini semua gak cocok, kayak magnet pada kutub yang sama!
Antara keinginan orang tua dan cita-cita sendiri itu gak sesuai!”
“Ya sudah, kamu buktiin dong ke Papa kamu bahwa menulis itu
memang dunia kamu. Bintang kamu yang sebenarnya. Kamu bisa menjuarai Festival
Bulan Bahasa itu! Ayo, tulis lagi. Ini pulpen dan kertasnya.” Riko selalu bisa
membuat Rena semangat.
“Kamu benar Riko, aku harus bisa menunjukan agar bintang aku
kembali bersinar dan Papa dapat melihatnya! Terimakasih, kamu sahabat terbaik
yang aku punya”
Rena
menyeka air matanya, memeluk Riko dari samping sebagai ucapan terimakasih. Riko
kembali tidak bisa bereaksi. Rena menulis kembali di ruang tamu hingga malam
semakin larut. Rena tidur di kamar Riko, sedangkan Riko di atas sofa ruang
tengah. Mana mungkin ia tega melihat gadis kedinginan. Apalagi gadis itu Rena.
Untung
hari ini hari libur, Rena tidak perlu mengkhawatirkan sekolah. Selepas mandi
dan sarapan, ia menganjak Riko ke kantor pos menggunakan sepeda. Setelah itu
mereka menghabiskan sisa waktu yang tersisa pada hari itu dengan bersepeda
mengelilingi taman.
Hari
itu akhirnya tiba. Hari yang Rena harapkan akan bahagia. Pengumuman pemenang
Festival Bulan Bahasa dan juga pentas seni di sekolahnya. Ia akan menonton Riko
yang berperan sebagai tokoh utama dalam pentas teaternya. Acara pentas seni
kali ini ramai sekali, banyak wali murid yang menghadiri. Begitupun orang tua
Riko dan Rena. Setelah pementasan teater selesai, tiba-tiba Kepala Sekolah
memberikan pengumuman. Ternyata pengumuman itu merupakan pengumuman prestasi.
“Perlu para hadirin ketahui, anak didik kami berhasil
menjuarai Lomba Festival Bulan Bahasa Nasional atas nama Rena Andini..” Rena
masih tak percaya, ia dapat menjuarai perlombaan itu dan pengumuman
perlombaannya di umukan kepada orang banyak. Termasuk kepada Papa Rena. Senyum
bahagia terpancar di wajah Rena ketika mengambil piala dari Menteri Pendidikan
di atas panggung.
Rena
kembali ke luar ruangan aula, ia pergi mencari Riko. Namun, batang hidungnya
pun belum terlihat. Tiba-tiba ada yang mendekapnya.
“Papa bangga sama kamu. Maafin Papa yaa. Kali ini Papa
biarkan ‘bintang’ Papa bersinar lebih terang dari ribuan bintang lainnya” Rena
mendekap kembali tubuh pria mapan itu. Kehangatan yang sudah tidak terjadi
cukup lama.
Kini
pikirannya fokus kepada Riko. Dimanakah manusia satu itu? Ternyata ia ada di
ujung balkon. Sedang mengobrol bersama teman lelakinya. Rena langsung
menghampirinya
“Selamat yaaa..!! kamu hebat!”
“Ini juga berkat dukungan kamu kok. Kalau gak ada kamu...”
“Terus jadi bintang yang bersinar di mata semua orang
ya..” Riko memotong ucapan Rena dan
beranjak pergi meninggalkan Rena dengan senyuman yang paling tulus.
Sedangkan
Rena kebingungan dengan sikap Riko yang sedingin itu. Ada apa ini? Hingga
akhirnya Rena menyadari sesuatu yang dari dulu ia tidak menyadari. Tatapan Riko
terhadapnya, perhatiannya, dan Rena bertanya berhati-hati kepada teman-teman
Riko yang masih berada di balkon.
“Riko ada rasa yah sama gue?”
“Dan lo baru tahu? Ampun deh! Kemana aja lo?”
Kembali,
Rena mengejar bintangnya. Kali ini, bintang untuk hatinya.
Komentar
Posting Komentar