Mengejar Fatamorgana

       "Fer, ini fotomu sama pacar lagi jalan-jalan, ya?”
Ia hanya tersenyum sambil tersipu ketika mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang sedang memegang ponselnya. Tapi, senyum itu penuh makna. Senyum yang menandakan ‘iya’.
“Eh, Ri.. liat nih si Fera ngalahin kita. Dia udah punya pacar duluan!” Walpaper di ponsel itu tampak suram di mataku. Rena seperti tak punya salah apapun ketika ia memperlihatkannya kepadaku. Ah, emang belum ada yang mengetahui siapapun tentang ini. Termasuk Rena dan sahabatnya Fera.
Hari itu, bagiku pertemuan rutin  anggota  Osis pagi itu seperti arakan awan cumulus dan nimbus. Hitam. Tak mampu kutepis arakan awan mendung itu dari wajah dan batinku. Hingga akhirnya, rapat usai, awan mendung kelabu itu  masih juga menggelayut, membasahi jiwaku. Rapat OSIS pun hasilnya tak ada yang masuk ke kepalaku. Entah mereka membahas apa. Aku hanya menatap dengan tatapan kosong ke satu arah. Memikirkan satu hal yang sama sedari tadi :  Fera.
        “Woyy!! Bengong aja lu! Habis ini, pulang  ke rumah gue yuk? Main basket sama anak-anak!” tepukan di pundakku sontak membuat bayangan tentang Fera berhenti. Aku bersyukur, akhirnya ada yang membantuku keluar dari kabut hitam ini.
“Gue pulang dulu, yaa. Ganti baju. Nanti gue nyusul ke rumah lo, deh!”
          Selepas Setelah anggukan itu Dito pergi duluan ke luar ruangan. Aku pun bergegas untuk pulang. Jika aku berlama-lama di tempat ini, akan menjadikanku seperti surat tak bertuan. Tersisihkan. Ketika di gerbang sekolah, aku masih sempat melihat Fera tersenyum lebar. Senyum itu sangat manis sekaligus menyakitkan. Karena  senyumannya bukanlah untukku.
Setelah sampai ke rumah, aku langsung ganti baju dan lekas kembali keluar rumah. Menuju rumah Dito. Meskipun teriakan Mama dari dapur untuk menyuruhku makan siang terlebih dahulu aku abaikan.
“Gak usah makan, Ma!  Aku udah kenyang makan ati dari tadi,” ucapku sendirian sambil menutup pintu rumah.
Rumah Dito dari luar tampak sepi. Sebenarnya bangunan ini tidak cocok disebut rumah, lebih tepatnya istana kerajaan. Rumah yang megah dengan halaman yang luas, dan garasi mobil yang disesaki Fortuner, Jaguar, Mercy dan Ford terbaru entah apa namanya. Kucari-cari sang Tuan Rumah setelah Security berkumis tebal itu menunjukkan arah paviliun, ternyata benar. Teman-temanku berada di halaman belakang rumah Dito. Rasanya aku sudah telat beberapa saat. Mereka sudah pada mandi keringat. Banyak yang protes tentang keterlambatanku itu. Aku hanya menanggapi dengan senyuman kecil dan langsung bergabung dengan mereka.
“Lama banget sih, lo!”
“Dandan dulu kalii, yaa?”
“Makanya, nanti gak usah pulang dulu! Pake baju gue juga bisa, kaliii...”
Bermain dengan teman-teman memang mengasyikan. Aku dapat melupakan sejenak rasa kepedihanku. Tetapi, hanya sejenak. Ketika pulang kembali ke rumah, rasa kepedihan itu semakin bertambah.
Perabotan rumah  terlihat acak-acakan dari luar rumah, tampaknya barang-barang ini terlemparkan. Jeritan suara wanita terdengar di telingaku. Suara yang sangat aku kenal. Mama. Aku langsung mencari-cari Mama. Ternyata Mama berada di dalam kamar mandi dengan badan basah kuyup. Duduk lemas di sudut kamar mandi. Aku tak bisa membedakan mana air mata Mama dan air dari bak mandi. Aku membantu Mama berdiri, namun badan Mama ingin tetap terus berada di tempat ini. Ia seperti ketakutan seakan-akan di luar kamar mandi terdapat monster menyeramkan. Aku tak bisa membiarkan Mama sakit hanya gara-gara baju basah dan kedinginan.
Ketika aku membawa Mama keluar kamar mandi dan menuju sofa di ruang tengah, terdengar suara keras lelaki yang memanggil-memanggil nama Mama.
“Liana!! Liana!! Dimana kau?!” kepalanya menengok ke segala arah.  “Ternyata kau di sini. Heh, aku pinjam perhiasanmu dan akta rumah ini!”
Mata lelaki itu melotot seakan ia bukan sedang bicara kepada wanita rapuh. Di tangannya tergenggam perhiasan-perhiasan Mama dan akta rumah yang diambil secara paksa. Pasti untuk membayar hutang-hutangnya, pikirku. Mama berusaha mengambil, namun lengan lelaki itu mendorong Mama sampai Mama tersungkur ke lantai. Lelaki itu ialah Papaku. Tapi itu dulu. Setelah Mama memutuskan bercerai. Aku tak sudi lagi menyebut dirinya Papa. Setelah apa yang ia perbuat kepadaku dan Mama selama bertahun-tahun. Bukankah seorang yang disebut Papa itu melindungi istri dan anak-anaknya, bukan sebaliknya.
Aku mengejar lelaki itu yang berlari sekitar beberapa meter di depan. Ingin ku hempaskan tangan ini kepada dirinya sebagai rasa kekesalanku dan rasa patah hati Mama. Akhirnya aku berhasil menyusulnya dan memegang pundaknya. Namun sayang, aku kalah cepat. Ia yang meninjuku duluan. Tapi setidaknya aku berhasil menyelamatkan akta rumah.
“Ingat apa yang kata Papa, Nak! Anak kecil gak perlu ikut campur urusan orang dewasa!” selepas ia berkata seperti itu kepadaku, ia menancap gas sepeda motornya dan menghilang seketika.
Aku kembali ke dalam rumah. Melihat Mama di ambang pintu masuk, dengan senyuman yang dipaksakan. Selepas itu ia merengkuh badanku. Aku memeluknya kembali. Rasanya sangat nyaman, sudah lama aku tidak dapat pelukan dari bidadari surga ini.
Hari ini.. terlalu panjang untuk dibuat cerita. Ah, sudahlah.. tidak ada yang perlu kuceritakan.
    ******
Entah aku mendapatkan keberuntungan apa. Atau memang doaku sudah terkabul. Aku semakin dekat dengan Fera karena Klub ini. Selain aku dan Fera ada 13 orang lagi yang ikut Klub Sahabat ini. Kebanyakan member yang mengikuti klub ini ialah member-member yang masih satu sekolah denganku. Di klub ini sesama member akan sharing, berbagi cerita pengalaman-pengalaman member di setiap pertemuannya. Pertemuan klub ini setiap hari minggu. Tidak ada yang memandu secara penuh klub ini. Setiap member berhak menanggapi satu persatu cerita dari setiap member yang lain.  Dan aku tak pernah absen untuk menghadiri klub ini. Tentu saja dengan alasan yang jelas. Hanya untuk melihat Fera dari dekat, melihat ia berbicara, dan memandang senyumannya diam-diam.
Bola mataku tak lepas memandanginya. Ketika ia sadar dari tadi siapa yang melihat terus ke arahnya, ia hanya memalingkan muka dan tersenyum. Mungkin ia terganggu karena sorot mataku selalu tertuju padanya.
Fera gadis yang pandai, ia bisa menyimak apapun dengan baik, selalu bisa menanggapi pernyataan-pernyataan yang dikemukakan member yang lain, selalu mendapatkan juara 1 dari SD hingga sekarang SMA dan Ia memiliki IQ di atas rata-rata. Dari mana aku tahu semua itu? Tentu aku yang mencari tahu sendiri. Mencari segala informasi tentangnya secara diam-diam.
Satu bulan aku sudah bergabung di Klub Sahabat ini, tetapi belum pernah aku berbagi cerita kepada mereka semua. Aku tak suka pengalaman tentangku diceritakan kepada khalayak ramai. Aku lebih suka menuangkan perasaanku di lembaran kertas. Jika kertas dan pulpen pun sudah bisa membuat hati lega, mengapa harus diceritakan kepada orang? Kadang yang mengerti perasaan kita hanya diri kita sendiri. Orang lain belum tentu mengerti, belum tentu pikirannya searah dengan pikiran kita.
Satu bulan ini aku hanya duduk di sudut pendopo Klub Sahabat, mendengarkan member-member yang lain yang bercerita, menyimak perdebatan antar mereka, terkadang ketawa-ketawa kecil jika mendengar kejadian-kejadian yang lucu dialami para member. Entah mereka menanggapiku seperti apa. Mungkin seperti patung berjalan. Karena aku hanya bicara seperlunya saja.

“Ri, aku pinjem pulpenmu, boleh?” Tiba-tiba Rena mendekatiku sambil setengah berbisik, karena ada member yang sedang bercerita. Rena pun ikut menjadi member di Klub Sahabat ini, bahkan ia ketika klub ini pertama didirikan
“Ambil aja gih. Tuh di tas!”
Aku menyodorkan tasku kepada Rena. Sedangkan aku kembali mendengarkan Fera yang sedang bercerita.  Awalnya Rena kebingungan, risleting di tasku lumayan banyak. Ia membukanya satu persatu, namun belum juga menemukan pulpen di dalam tasku. Aku memang jarang menggunakan kotak pensil, jadi memang sulit jika mencari alat tulis di dalam tasku. Hingga akhirnya ia membuka risleting tas yang terakhir...
“What !! ini kan foto Fera!” dengan volume besar Rena bicara hingga semua orang melihat ke arah kami. Di tangannya tergenggam foto-foto Fera yang berasal dari tasku.
Semenjak  itu, kehidupanku berubah total.
*******
Yang dimaksud berubah di sini bukanlah Fera menjadi mau denganku karena kekagumanku kepadanya sudah terbongkar. Tetapi, berubah di sini ialah Fera semakin menjauh kepadaku dan aku menjadi bahan cemoohan teman-teman yang lain karena kekagumanku kepadanya sudah terbongkar. Kadang aku merasa senang karena Rena telah membantuku untuk mengungkapkan perasaanku kepada Fera. Tapi, aku pun merasa sebal. Ia seperti ledakan mercon! Mulutnya ember! Andai saja waktu itu ia tidak teriak soal foto Fera di dalam tasku, pasti Fera masih  sudi bertemu denganku.
“Awass loh, zaman sekarang, trend-nya patah hati. Contohnya, yaa .... kayak si Eri ini...”
“Fera rembulannya, kamu burung punguknya, Ri. Nasib ...o ... nasib!”
Ucapan-ucapan mereka mungkin hanya bercanda, tetapi aku benci gurauan itu! Gurauan itu semakin membuat Fera menghindar bila berdekatan denganku, Fera semakin mencoba membunuh rasaku secara perlahan sedangkan rasaku semakin menjadi-jadi,  dan itu membuatku makin mati gaya.
“Bagai Punguk Merindukan Bulan”, pepatah itu memang benar adanya, kini sedang aku alami. Entah harus berapa lama menunggu rembulan di ujung langit malam, sedangkan rembulan selalu bersama sang bintang. Entah berapa lama menunggu untuk bersama Fera, sedangkan Fera selalu bersama kekasihnya. Ia selalu menceritakan kisah-kisahnya bersama sang kekasih, namun tidak ada kisahnya tentangku.
Aku memandangi handphoneku yang semenjak tadi pagi belum berdering. Entah itu tanda sms ataupun telepon.  Aku selalu berharap Fera menghubungiku. Entah itu di sms atau pun telepon. Namun, rasanya tak mungkin ia yang menghubungiku duluan. Aku berpikir, haruskah aku yang menghubunginya duluan?  Jika terus berdiam seperti ini, justru aku menjadi manusia yang munafik.
        Siang kukirim sebuah pesan singkat menuju nomor yang sejak dari dulu berada di handphoneku, namun baru kali ini aku mengirimkan pesan singkat menuju nomor itu. Karena selama ini aku tak punya keberanian bahkan seringkali aku tak jadi mengirimkan pesan singkat.
Setengah jam berlalu, satu jam, dan sampai tiga jam belum tampak ada sms balasan dari Fera. Aku berpikir kembali, memutar otak. Dan aku menyadari ada dua kemungkinan yang salah ketika aku sms kepada Fera sehingga ia tak mau membalas sms-ku. Pertama, aku tak mencantumkan namaku di pesan singkatku dan yang kedua pasti ia tahu sms-ku hanya basa-basi dan tidak penting. Aku pun mengetik ulang di keyboard handphone-ku dan memencet tombol ‘send’

“Permisi, maaf ganggu. Ini Eri. Mau nanya doang kok, acara kumpulan minggu depan jadinya di rumah kamu? Jam berapa?”
Belum sampai lima menit, handphone-ku berdering. Tanda sms! Segera aku membaca pesan singkat itu, dan benar pesanku dibalas oleh Fera. Entah ada berapa petasan yang meledak di dalam dadaku. Petasan itu meledak dengan indah, membentuk rangkaian bunga-bunga yang berkilauan di langit hatiku.
“Ya.  9” Pesan singkat yang benar-benar singkat
“Oke thank’s, yaa”, aku kembali mengirimkan pesan singkatku.              Sebenarnya ucapan terimakasih itu memiliki dua maksud. Yang pertama ucapan terimakasih karena pertanyaanku dijawab dan yang kedua terimakasih karena telah mau sms-an denganku walau hanya sebentar saja.       Lama tak ada balasan kembali, Aku memilih tidur.
Selesai tidur aku langsung mengecek handphone-ku, berharap lampu notifikasi menyala. Dan benar saja, ada satu pesan singkat yang belum kubaca. Aku bersemangat membukanya dan di atas kotak pesan tertulis Fera. Fera membalas pesan singkatku lagi.
“Oke. Kasih tau yang lain, yaa”. La..la..la...! Setidaknya pesan yang ini jauh lebih panjang dari yang sebelumnya.
PRAAAKKK!! Dari luar kamarku terdengar suara gelas pecah, tampaknya dari arah dapur. Segera aku keluar dari kamarku, aku melewati kamar Mama, namun Mama tak ada di dalam. Pikiranku sudah menduga yang tidak-tidak. Terlihatlah seorang wanita paruh baya tergeletak dilantai yang dikelilingi serpihan gelas pecah. Kemudian wanita itu duduk terkulai bersandarkan tembok. Ia meringis  kesakitan, mukanya tampak pucat ketika itu, tangannya mencoba menggapai ke arahku mengiyaratkan aku harus menolongnya. Ya ... Tuhan, aku benar-benar lupa. Sudah saatnya Mama cuci darah lagi!
Untung jarak rumahku dengan rumah sakit lumayan dekat. Tidak sampai lima belas menit. Mama masuk ke ruang Hemodialisis dan terbaring lemas di sana. Selang-selang itu dipasangkan ke tubuh Mama, aku tak tega melihat Mama seperti itu. Kadang memang jika penyakit Mama kambuh, ia harus dirawat intensif seperti sekarang ini. Sebisa mungkin aku menangis tanpa mengeluarkan suara di ruang tunggu, karena takut pasien yang lain terganggu. Seketika, bayangan Mama memasuki pikiranku. Mama yang selalu memakai jilbab yang lebar dan panjang, tersenyum ikhlas kepadaku dan kemudian memelukku. Terakhir, aku dipeluk Mama hanya waktu kejadian yang tak menyenangkan itu.

“Ya Allah.. jangan panggil dia terlebih dahulu, aku belum membahagiakan bidadari surga-Mu,” batinku.
Aku mencoba menyeka air mataku yang tersisa. Bangkit dari tempat dudukku dan di pikiranku aku bertekad harus menuju satu tempat. Kakiku melangkah ke sana. Mushola.
Usai mengerjakan sholat fardhu dan berdoa agar Mama baik-baik saja, aku kembali ke ruang tunggu. Dokter yang memeriksa kondisi Mama tadi melambaikan tangan ke arahku, agar aku mengikuti ke ruang kerjanya.
“Mamamu sudah melewati masa kritisnya. Kenapa melewati jadwal  cuci darah yang kuberikan?. Sekarang, biarkan ia istirahat ya! Sejam lagi kamu boleh masuk ke ruangan itu”, ujar pria berjas putih  itu tegas dengan stetoskop tetap menggantung di lehernya.
Aku bernafas lega karena Mama masih baik-baik saja. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke ruang tunggu melewati beberapa ruas koridor dan ruang perawatan. Bau-bau aneh telah memasuki hidungku. Awalnya aku paling benci  rumah sakit karena bau obat-obatan seperti ini. Namun, kini aku sudah adaptasi, aku sudah sering bolak balik rumah sakit semenjak Mama jadi sakit-sakitan. Hari semakin larut, aku tak kuasa lagi menahan mataku agar tak terlelap di bangku panjang.
Tiga hari berselang  aku sudah harus membawa Mama ke rumah sakit lagi. Kata dokter sekarang jadwal cuci darah Mama jadi 2 kali per minggu dan tak boleh terlambat lagi. Di dalam otakku aku hanya memikirkan satu : Mama harus sembuh!  Beruntung ada kartu BPJS untuk menanggulangi segala pembiayaannya. Walaupun demikian tak pelak tabungan selama satu tahun untuk membeli bola basket, aku pakai juga  untuk membiayai kebutuhan lain selama Mama di rumah sakit ini.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan Mama di rawat ini. Cepat aku membuka pintu dari dalam. Ternyata teman-temanku dari Klub Sahabat. Mereka datang seperti rombongan keluarga yang mau nikah. Ramai dengan parsel-parsel di lengan mereka. Aku menyalami mereka satu persatu, namun Fera tidak ada. Mereka menanyakan keadaan Mama yang dari dulu belum siuman-siuman juga. Kehadiran mereka bisa membuatku lebih bersemangat dan membuang rasa bosanku di tempat ini. Setidaknya, aku ada teman untung mengobrol.
       Agar dapat membuat Mama tetap tenang, aku dan teman-teman keluar dari ruangan jika berbincang-bincang di luar, kan lebih seru dan bebas untuk tertawa keras sekedar melupakan mumet di kepala. Tawaku berhenti ketika ada gadis berambut ombak menuju ka arahku.
“Maaf ya, Ri. Aku telat. Gimana keadaan Mama kamu?” ujar Fera. Aku tahu, Fera merasa bersalah.
“Iya... gak apa-apa. Masih gitu-gitu aja, Fer.  Belum ada perkembangan lagi.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Sebagai gantinya... ini dari aku sama Rio,” ia menaruh bingkisan di tangannku. Pria yang disampingnya pun ikut tersenyum. Pasti Rio ini pacarnya  Fera.
Dadaku semakin sesak ditambah kadar oksigen di tempat ini tampaknya berkurang dengan kedatangan rombongan ini. Fera duduk bersama para member perempuan di seberang tempat dudukku. Ia memperkenalkan pria yang bersamanya kepada semua member. Termasuk kepadaku. Sebisa mungkin aku harus bersikap normal. Jangan sampai hal bodoh terjadi pada saat yang seperti ini. Aku melihat keadaan Mama dari luar kaca pintu. Betapa paniknya aku ketika Mama terlihat kejang-kejang.  Segera aku memanggil dokter. Ah.. Mama kenapa lagi?
                                                           *****************************

“De, Mamamu kritis lagi. Hanya ada satu cara agar Mamamu sembuh...Transpalansi ginjal!” Dokter bicara sambil menahan beban berat di benaknya. “Hanya saja... siapa yang mau donor ginjal sekarang?” tanya dokter pelan.
“Saya mau, Dok!” tukasku tanpa pikir panjang lagi.
“Saya juga, Dok!” Rio ikut usul mendonorkan ginjalnya. Yang lain diam terpaku.
“Bagus!” ujar Dokter Arya gembira. “Tapi diantara kalian siapa yang golongan darahnya AB atau O?”
Hening sejenak. Semua yang hadir menanti kelanjutan kalimat Dokter Arya.
“Kenapa begitu, Dok? Apakah golongan darah A seperti saya tidak bisa jadi donor buat Mamaku?”
Aku mencerna baik-baik kalimat yang diucapkan dokter itu. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Ingin rasanya aku mendonorkan ginjalku untuk Mama agar Mama sehat kembali, namun dokter melarangku. Karena golongan darahku A sedangkan Mama golongan AB. Tiba-tiba dari belakang keramaian teman-temanku, seorang pria dengan lantangnya bicara.
“Aku siap jadi pendonor, Dok!”
Pria itu mendekati dokter yang berada di depanku. Dari samping aku mengenal wajahnya. Aku mengenal suaranya yang berat itu. Seketika itu juga ia dibawa oleh Dokter untuk pengecekan kesehatan. Entah harus bersedih atau bahagia, akupun bingung. Aku merasa bahagia karena akhirnya ada pendonor yang ikhlas untuk menyelamatkan nyawanya kepada Mama. Dan pendonor itu ialah orang yang sangat aku benci. Papa!
Sebelum masuk ke ruang operasi, Papa berbisik kepadaku yang sedang duduk di kursi tunggu. Percakapan yang sangat singkat dan menumbuhkembangkan kenangan yang merona.
“Semoga ini cukup untuk menggantikan rasa bersalah Papa kepada kalian?”
Aku mematung. Diam seribu bahasa. Kenapa orangnya harus Papa?
“Papa ‘gak mau hidup dihantui rasa bersalah. Inilah jalan untuk menebus kesalahan Papa.”
Papa memeluk badanku yang masih menyandar di kursi. Aku pun memeluknya kembali. Rasanya pelukan ini merupakan pelukan untuk yang terakhir kalinya. Dengan tenang Papa memasuki ruang operasi, sedangkan aku menatap punggungnya dari belakang. Aku tak melihat sosoknya lagi sejak hari itu.
*******
Hari itu, aku nekat memberi surat kepada Fera. Itulah surat cinta yang pertamaku buat untuk seorang cewek. Aku selipkan suratku ke dalam tasnya diam-diam. Semoga surat ini dibaca oleh orang yang tepat.

“Dear, Fer. Aku punya cerita untukmu. Namun sebelum itu maukah engkau bersabar membaca kisahnya? Kisah ini belum pernah aku ceritakan kepada siapapun. Termasuk orang-orang yang mengikuti Klub Sahabat kita. Begini ceritanya :
3 tahun yang lalu di suatu tempat ada seorang cowok yang memiliki teman cewek.  Cowok itu tak berkutik jika bertemu dengan temannya itu. Pernah suatu hari mereka berpapasan. Sang cowok tahu pasti bahwa di depannya ada sosok cewek itu karena ia sudah hafal betul sosok cewek yang sedang menuju kearahnya. Sang cowok kebingungan apa yang harus ia lakukan. Haruskah menyapanya? pikir sang cowok di dalam hati. Bagaimana jika cewek itu justru memalingkan mukanya? Banyak pertanyaan pengecut yang berada di dalam benak sang cowok. Sedangkan cewek itu semakin mendekat. Hingga akhirnya cewek itu melewati  sang cowok dan ia hanya berjalan terus tanpa berani menyapa atau bahkan tersenyum sekalipun! Itulah hal pertama yang sangat bodoh yang dilakukan sang cowok.
Hari-hari berikutnya, sang cowok masuk terjerembab ke dalam keterpurukan hati. Pikirannya selalu tak terlepas dari bayang-bayang cewek itu, doanya selalu menyebut nama cewek itu, matanya bersinar menghidupkan energi cinta platonis.
Entah ada suara dari mana, sang cowok yang sedang duduk termenung itu tiba-tiba berdiri. Suara itu seperti berbisik ke telinganya dan saraf-saraf di telinga melanjutkan ke otak. Suara itu mengatakan, bahwa sang cowok harus berhenti. Berhenti berharap, berhenti mengkhayal dan berhenti mencintai  itu. Namun, ia tak peduli dengan kiriman suara itu. Ia tetap melangkah di jalan yang ia pilih. Walaupun jalanan itu penuh berbatu-batu tajam dengan lereng terjal. Itulah hal bodoh kedua yang ia lakukan .
Di suatu hari, sang  melihat sosok cewek yang amat ia cintai itu berjalan di depan  bersama seorang pria. Rasa bahagia pasangan itu tidak dapat disembunyikan lagi, tangan mereka bergandengan, kini Sang cowok paham betul mengapa ia harus berhenti berharap. Seketika harapannya meluntur. Sang cowok hanya bisa mengejar fatamorgana itu dalam hatinya, bukan sosok sebenarnya. Bagi cowok itu, mencintai tidak selamanya harus memiliki.
Dear,Fera... menurutmu, apakah artinya menaruh harapan kepada orang yang sudah mempunyai kekasih?”
Yang selalu mengharapkanmu,

Eri

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun tak ada balasan dari surat itu.
        *******
Selepas lulus SMA, aku dan Mama memutuskan untuk pindah rumah. Entah mengapa Mama benar-benar ingin pergi jauh dari kota ini. Di kota ini banyak sekali kenangan Mama bersama Papa. Mulai dari Mama berkenalan dengan Papa sampai peristiwa terakhir yang hampir merenggut nyawa Mama, namun Papa bersedia menggantikan nyawa Mama. Karena operasi pengambilan ginjal Papa gagal. Ginjal Papa yang berfungsi ternyata tinggal sebelah dan itu pun diberikan sama Mama. Mama sadar, seberapa besar usaha Mama untuk melupakan Papa, namun tetap tak akan bisa.
Delapan tahun berlalu, aku harus kembali ke kota di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Aku kembali ke kota ini bukan untuk apa-apa. Hanya untuk menghadiri reuni akbar Klub Sahabat. Rasanya, pertemuan ini akan sangat menyenangkan. Lagipula aku sudah lama tidak berkumpul bahkan bertemu langsung dengan member-member di klub aneh ini.
Seraya aku berbincang dengan orang-orang  yang sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, mataku menatap sosok perempuan yang setiap hari berada di dalam memo otakku. Dari dulu ia tak pernah berubah, rambutnya selalu diurai, lesung pipinya terlihat jika ia tersenyum, matanya berbinar memantulkan cahaya semangat, itulah yang membuatku selalu jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi. Sudah lama sekali aku tak melihatnya lagi seperti ini.
Namun, ia datang bersama pria yang dahulu pernah ia bawa ketika menengok Mama di rumah sakit. Meskipun perempuan itu berbincang-bincang dengan teman-temannya, tangannya tak mau melepaskan genggaman pria yang bersamanya. Dan, cincin yang melingkar di jari manis mereka masing-masing membuatku paham.

“Ah.. Fera kalau kau ingin tahu, rasaku tak berubah dari dulu,” tangisku dalam hati.

***************





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Mati di Tulisanku Sendiri

Kata-kata Yang Berlari di Tengah Jatuh Cinta

Bermain dengan Spotify Wrapped 2024