Harapan Anak Jalanan

Aku hidup di kota metropolitan. Jakarta. Ibu kota negaraku. Yang sering aku lihat dari Jakarta adalah kompleks perumahan yang mewah, setiap pagi anak-anak pergi ke sekolah, makan direstoran mahal, orang-orang pergi  kepusat perbelanjaan, menghamburkan uang mereka dengan sepuasnya. Tapi, tidak denganku.
Memang, aku tinggal di Jakarta. Tetapi, bukan  seperti mereka yang lakukan setiap hari. Aku bukan tinggal di perumahan gedongan, melainkan disebuah gubuk kecil di pinggir Sungai Ciliwung. Setiap pagi aku bukan berangkat sekolah, melainkan pergi bekerja untuk membantu ibuku. Karena ibuku sedang sakit-sakitan, sedangkan ayahku sudah lama meninggal. Aku bukan bekerja di kantor-kantor di gedung yang tinggi. Melainkan, dipinggir jalan. Kadang aku mengamen, kadang juga aku berjualan air minum. Aku tidak makan di restoran-restoran seperti orang-orang elit Jakarta, aku hanya makan sebungkus roti setiap paginya. Dan jika uang ngamenku cukup banyak, aku belikan satu nasi bungkus untukku dan ibuku. Aku tidak biasa berbelanja di mall. Bahkan masuknya pun aku baru sekali. Lagian, aku tak perlu beli barang-barang disana. Karena barang-barangnya yang mahal, uangku tak cukup untuk membelinya.
Kenalkan, namaku Imam Sidiq. Panggil saja Imam. Kata Ayah ku ketika belum meninggal, nama Imam berartikan pemimpin. Sedangkan Sidiq berarti jujur. Jadi, harapan Ayahku untukku adalah menjadi seorang pemimipin yang bersifat jujur. Aku sangat menyukai nama ku yang di berikan oleh Ayah. Aku juga sangat ingin menjadi pemimpin, pemimpin apa saja lah. Yang penting ke arah yang baik. Beruntung kalau aku jadi pemimpin negaraku. Tapi, nampaknya tak mungkin.
Aku baru berumur 10 tahun. Aku sudah tidak sekolah . Perlu kalian ketahui, aku juga pernah masuk sekolah SD . Aku bisa menulis dan berhitung. Walau tak sepandai orang yang melanjutkan sekolah. Aku hanya bersekolah sampai kelas 2 SD. Karena Ayahku sudah meninggal. Dan ibuku tak mampu membiayaiku sekolah. Akhirnya aku terpaksa berhenti sekolah padahal aku ingin terus belajar memperbanyak ilmu.
Tetapi, aku berusaha belajar dengan buku-buku yang ku pinjam di Mobil Baca. Dari buku-buku itu, aku dapat menambah ilmu ku. Walaupun aku anak jalanan, aku mempunyai mimpi untuk jadi orang sukses.
Suatu hari, aku sedang berkumpul dengan teman-temanku sesama anak jalanan. Kami bermain di lapangan dekat rumah kami. Sebetulnya, bukan seperti lapangan yang luas. Tetapi, hanya seperempat tanah lapangan dari lapangan bola. Kami biasa berkumpul di tempat itu. Anak-anak jalanan di daerahku mempunyi group. Kami sering menyebutnya, “Kelompok  Pengumpul Harapan”. Anak-anak jalanan yang mempunyai harapan besar boleh bergabung dikelompok ini. Pendirinya adalah Adis, temanku. Ia juga berhenti sekolah dan anak jalanan.  Aku dipercaya sebagai ketua kelompok dari mereka.
Ada 10 anggota di kelompok kami. Semuanya berasal dari latar belakang yang sama. Yaitu, anak jalanan. Setiap minggu kami mengadakan pertemuan. Biasanya, menuliskan harapan-harapan kami di secarik kertas lalu digantungkan di Pohon Pengabul. Pohon Mahoni yang tidak terlalu tinggi dijadikan tempat muara harapan-harapan anak jalanan. Atau belajar bersama di markas.
Sorenya, diadakan pertemuan mendadak, entah ada acara apa. Padahal, pagi sudah berkumpul. Aku sengaja tidak mengamen sore itu. Sepertinya, pertemuan kelompok sangat penting. Aku tergesa-gesa menuju markas. Ketika sampai di depan markas, Aku kaget melihat markas kelompokku berantakkan. Karya-karya kelompok kami tergeletak begitu saja di tanah, bahakan ada yang sampai rusak. Siapa yang melakukan ini?
Semua anggota terlihat kebingungan. Mereka tak ada pikiran untuk mencurigai seseorang. Adis pun tak menyangka ada yang membeci kelompoknya hingga memberantakkan markas kelompoknya.  Akhirnya, aku bersam teman-temanku membersihkan dan merapihkan kembali markas kami. Dan mencoba melupakan siapa yang memberantakkan markas kami.
Setelah membersihkan markas kami, aku dan teman-teman pergi ke pinggir sungai. Kami duduk di benteng. Aku dan teman-teman begitu kelelahan. Makanya, kami  menenangkan pikiran di pinggir sungai untuk melihat detik-detik matahari tenggelam. Kerongkonganku begitu kering, perutku begitu lapar. Adakah yang mau membawa kan makanan?
Tiba-tiba Tino kumpul bersama di benteng. Dan yang lebih membahagiakan lagi Ia membawa banyak makanan dan minuman. Roti, wafer, air mineral cukuplah untul mengganjal cacing-cacing di perut para anak jalanan. Matahari sudah mulai tenggelam. Kami sering melakukan moment ini. Semuanya hening, hanya terdengar arus sungai dan suara kicauan burung. Adis pun memecahkan keheningan.
“Kita sudah satu tahun berada di kelompok ini. Setiap minggu kita kumpul, setiap minggu pula kita menuliskan harapan kita. Sebenarnya, apa harapan terbesar kalian?” Ia menengok ke arah aku dan teman-teman yang lain. Matanya berbinar karena diterpa cahaya matahari, aku melihatnya dengan jelas.
Deni yang pertama menjawab “Yang pasti aku pengen membuat bangunan yang terkenal di Indonesia seperti Monas!! Doakan aku yaa supaya kesampean hehehe” suaranya terkikik. Mungkin yang dimaksudnya ingin menjadi Konstruktur. Ia adalah temanku yang menggilai bangunan Monas. Menurutnya, tak ada bangunan lain yang sehebat Monas. Padahal, Ia belum pernah masuk ke Monas. Ia hanya melihat dari kejauhan saja.
Lalu Ilham “Aku ingin menjadi Menteri Pendidikan. Agar anak-anak jalanan seperti kita dapat bersekolah.”
Dilanjutkan dengan yang lain. Ada yang ingin menjadi Dokter, Artis, Model,Polisi, Guru dan yang lain-lain.  Aku masih berfikir, aku akan menjadi apa hari esok?
“Ayoo Imam! Sekarang giliran mu!”
“Aku.. aku..” aku gugup sekali. Apa cita-cita ku gak ketinggian? Aku ragu-ragu menyampaikan cita-citaku.  “Keinginanku yaitu.. membangun negara ini. Menjadi yang lebih baik. Mensejahterakaan warga-warga nya. Supaya tidak ada lagi warga yang seperti kita sekarang ini. Aku ingin jadi Presiden.”  Aku akhiri pembicaraanku dengan menundukan kepala. Karena aku malu, pasti mereka menertawakanku.
Yang aku pikir mereka akan menertawakanku karena harapan ku yang terlalu tinggi. Namun, setelah aku selesai bicara tak ada yang bersuara. Mereka malah mereka bertepuk tangan dan menepuk pundak ku. Menurut mereka harapan ku yang paling bagus.
Sore itu begitu indah, bahkan terlalu indah. Aku dan teman-teman mengutarakan harapan di depan matahari terbenam. Malam yang mengulang hari baru akan datang.
 “Asal jangan putus harapan kawan! Bermimpi itu perlu, besok kita akan mewujudkan nya!”
Ucapanku menutup pembicaaan sore itu. Kami anak jalanan pengumpul harapan akan menjadi apa yang kami mau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Mati di Tulisanku Sendiri

Kata-kata Yang Berlari di Tengah Jatuh Cinta

Bermain dengan Spotify Wrapped 2024